Pages

Selasa, 24 Juni 2014

Sejarah Lokal :Revolusi Sumatra Timur

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Revolusi Sosial Sumatera Timur adalah gerakan sosial di Sumatera Timur oleh rakyat terhadap penguasa kesultanan Melayu yang mencapai puncaknya pada bulan Maret 1946. Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan antifeodalisme. Revolusi melibatkan mobilisasi rakyat yang berujung pada pembunuhan anggota keluarga kesultanan Melayu yang dikenal pro-Belanda namun juga golongan menegah pro-Republik dan pimpinan lokal administrasi Republik Indonesia           
Diakibatnya, sulitnya komunikasi dan transportasi, proklamasi kemerdekaan 17 Agustus baru dibawa oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan selaku Gubernur Sumatra dan Mr. Amir selaku Wakil Gubernur Sumatra dan diumumkan di Lapangan Fukereido (sekarang Lapangan Merdeka), Medan pada tanggal 6 Oktober 1945. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan AFNEI dibawah pimpinan Brigjen T.E.D. Kelly mendarat di Belawan. Kedatangan pasukan AFNEI ini diboncengi oleh pasukan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan dan membebaskan tawanan perang orang-orang Belanda di Medan.
Pada pertengahan abad ke-19, perkebunan tembakau tumbuh dengan pesat di wilayah kesultanan Deli  sehingga mengakibatkan migrasi buruh (koeli) perkebunan yang diangkut oleh Belanda. Pada awal abad ke-20, hampir separuh penduduk Sumatra Timur adalah buruh pendatang yang banyak dieksploitasi oleh Belanda.
Meletusnya revolusi sosial di Sumatera Utara tidak terlepas dari sikap sultan-sultan, raja-raja dan kaum feodal pada umumnya, yang tidak begitu antusias terhadap kemerdekaan Indonesia karena setelah Jepang masuk, pemerintah Jepang mencabut semua hak istimewa kaum bangsawan dan lahan perkebunan diambil alih oleh para buruh. Kaum bangsawan tidak merasa senang dan berharap untuk mendapatkan hak-haknya kembali dengan bekerja sama dengan Belanda/NICA, sehingga semakin menjauhkan diri dari pihak pro-republik. Sementara itu pihak pro-republik mendesak kepada komite nasional wilayah Sumatera Timur supaya daerah istimewa seperti Pemerintahan swapraja/kerajaan dihapuskan dan menggantikannya dengan pemerintahan demokrasi rakyat sesuai dengan semangat perjuangan kemerdekaan. Namun pihak pro-repbulik sendiri terpecah menjadi dua kubu; kubu moderat yang menginginkan pendekatan kooperatif untuk membujuk kaum bangsawan dan kubu radikal yang mengutamakan jalan kekerasan dengan penggalangan massa para buruh perkebunan.
Revolusi Sosial terjadi di Tanah karo,di Simalungun (Kerajaan Panei, Tanoh Jawa,Kerajaan siantar,Kerajaan Purba, Kerajaan Silimakuta,Kerajaan Dolog silau,Kerajaan Raya), di Melayu (Asahan,Labuhan batu,Kesultanan Serdang,Kesultanan Deli,Kesultanan Langkat,Batu Bara,Kota Pinang).
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas adapun rumusan masalahnya yaitu sebagai berikut :
1)      Bagaiamana kehancuran pemerintahan raja – raja ?
2)      Bagaimana persatuan perjuangan dan polarisasi yang terjadi di Sumatra Timur?
3)      Bagaimana proses berlangsungnya “malam berdarah” ?
4)      Bagaiamana revolusi atau perebutan kekuasaan yang terjadi di Sumatra Timur?
5)      Apakah reaksi yang terjadi di Sumatra Timur akibat Revolusi Sosial?
C.    Tujuan
Adapaun tujuan penulisan makalah ini, yaitu :
1)      Untuk mengetahui kehancuran pemerintahan raja – raja
2)      Untuk mengetahui persatuan perjuangan dan polarisasi yang terjadi di Sumatra Timur
3)      Untuk mengetahui proses berlangsungnya “malam berdarah”
4)      Untuk mengetahui revolusi atau perebutan kekuasaan yang terjadi di Sumatra Timur
5)      Untuk mengetahui reaksi yang terjadi di Sumatra Timur akibat Revolusi Sosial






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hancurnya Pemerintahan Raja – raja
Perpecahan timbul di kalangan kerajaan dan kelompok – kelompok pemuda pejuang yang terjadi di Sumatra Timur berkembang semakin parah. Pemuda sesungguhnya memiliki kekuatan fisik, tetapi mereka terpecah belah sehingga usaha tersebut hanya menimbulkan hantu anarki. Disatu sisi pihak kerajaan tetap mempertahankan pemerintahannya yang semakin tersisih perlahan – lahan dari tangga kekuasaanya. Pengaruh raja – raja Melayu dan Simalungun sekarang hanya terbatas pada pengikut – pengikut sesukunya sendiri di daerah – daerah pedesaan.
Kekacauan yang terjadi sebenarnya sudah dicegah oleh Mr. Hasan dan Wakil gubernurnya Dr, Amir namun kemampuan keduanya belum berhasil untuk itu. Sewaktu Mr. Hasan berada berada di Aceh pada pertengahan Desember, Dr. Amir bersama Mr. Laut dan dua pemimpin dari Sumatra Barat, Adinegoro dan Dr. Djamil berangkat ke Jakarta atas tawaran sekutu. Dengan menerima tawaran ini, Dr. Amir berarti sudah tidak lagi memperkuat posisinya. Inggris bermaksud menghadapkan tokoh – tokoh Sumatra ini agar menerapkan pengaruh politik moderat dan pragmatis Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Setelah kembali dari Jakarta  pada tanggal 3 Januari, Dr.Amir semakin dicurigai dengan keterangannya yang mengatakan “Pemerintah Republik di Jawa menganggap Sumatra secara politik dan ekonomi tidak tergantung pada Jawa dan bebas menjalankan setiap tindakan yang tidak bertentangan dengan kepentingan Republik”. Akibat pernyataannya tersebut beberapa pemuda mencoba menculik Amir sehingga Mr. Hasan terpaksa membuat pernyataan tegas yaitu di Sumatra tidak akan menjalankan politik yang tersendiri atau berbeda dari politik pemerintah pusat di Jawa.
Untuk mengatasi perpecahan di seluruh Indonesia antara pemuda dan pejabat serta untuk memperkuat kedudukan pemerintahan, maka sosialis Sjahrir mengumumkan pada 23 November pembentukan “Komite Nasional Indonesia Daerah, atau KNI – daerah. KNI – KNI ini sudah banyak berdiri di berbagai tempat berdasarkan keanggotaan hokokai atau shu sangi kai, dan sekarang harus disusun kembali sebagai badan – badan perwakilan yang mencerminkan imbangan keuangan yang baru dan mampu bersama pejabat – pejabat menjalankan pemerintahan. KNI yang baru untuk daerah Sumatra Timur telah dibentuk pada awal Desember dengan Laut Siregar sebagai ketuanya. Komite – komite nasional lainnya juga dibentuk pada setiap kabupaten dan kota penting lainnya selama bulan Januari. Proses penyaringan untuk KNI kota Medan merupakan cara pemilihan yang teratur meskipun tidak secara langsung. Sistem perwakilan yang disetujui antara Mr. Joesoef dan wakil dari KNI Sumatra Timur ialah dalam bentuk pembagian 50 kursi yang kira – kira sama diantara tiga blok. Blok peratama mewakili golongan – golongan revoluioner dan marxis, termasuk tiga wakil masing – masing dari PKI, PNI dan Pesindo, blok kedua golongan – golongan agama dan sosial termasuk tiga wakil MIT dan dua dari Sabililah dan blok ketiga, wakil – wakil dari sektor – sektor kota dan golongan minoritas non Indonesia. Waktu dua bulan yang diperlukan untuk melaksanakan proses seleksi ini merupakan petunjuk bahwa cara – cara yang lebih kasar mungkin telah dipergunakan di tempat – tempat lain.
Terbentuknya KNI – KNI yang sudah diperbarui ini segera memberikan kekuatan dan pengakuan baru kepada tokoh – tokoh politik yang lebih mapan dan moderat. Sebagai ketua dari KNI Sumatra Timur terutama Laut Siregar sudah bulat sikapnya bahwa raja – raja itu harus menerima semangat demokrasi yang dibawa perubahan zaman. Dia dan Dr. Amir sudah begitu terkesan oleh kerja sama yang harmonis antara Republik dan Kesultanan Jogja ketika mereka berkunjung ke Jawa. Segera setelah mereka kembali dari Jawa pada 12 Januari, mereka membicarakan dengan bekas majikan Dr. Amir, Sultan Langkat unntuk memprakarsai dan menjadi tuan rumah suatu konferensi kerajaan yang akan membahas masalah ini di Tanjung Pura.
Kenyataan adanya dua tokoh besar dunia kesusasteraan dari Sumatra Timur, Tengku Amir Hamzah (Wakil Pemerintah NRI untuk Langkat) dan Dr. Amir yang bisa menjadi jembataran antara Kesultanan Langkat dan Republik mungkin telah menjadi sebab mengapa Langkat sepenuhnya bisa bekerja sama dalam usaha ini. Serdang, satu – satunya kesultanan yang kesetiannya sejak semula telah diragukan oleh Belanda, mengirim ke konferensi itu putra mahkotanya, Tenku Anwar, seorang administrator pemerintahan yang cakap. Juga hadir dua datuk dari Deli, tetapi tidak seorangpun utusan dari Kesultanan Asahan “berhalangan karena perhubungan”. Dalam konferensi itu Dr. Amir menguraikan bagaimana raja – raja di Jawa telah menjadi demokrasi dilaksanakan juga dengan selekas – lekasnya dalam kerajaan di Sumatra Timur ini. Pertemuan itu menyetujui supaya dewan – dewan perwakilan didirikan secepat mungkin pada setiap wilayah dan untuk sementara para sultan dan pejabat – pejabatnya akan “memerintah dengan bekerja bersama dengan serapat – rapatnya” dengan KNI – KNI setempat.
Baik dalam jumlah wakil – wakil yang hadir maupun kadar putusan yang diambil, konferensi ini adalah suatu langkah maju yang menyedihkan. Tidak ada usaha khusus tetentu yang diumumkan maupun pembentukan suatu perangkat mekanisme untuk melaksanakan “kerja sama” itu. Dimata para sultan itu hanya sedikit yang bisa diberikan Republik kecuali hanya omongan dan mereka pun menyambutnya secara setimpal. Perubahan suasana sebelum konferensi kedua, kurang dari sebulan kemudiannya, menjadi bukti yang nyata dari radikalisasi revolusi.
Berlakunya gencatan senjata pada akhir Desember telah menjadikan Medan secara nyata berada di bawah kekuasaan Sekutu dan polisi Republik dan secara berangsur – angsur pasukan – pasukan pemuda bersenjata memindahkan markas – markasnya ke luar kota. Dengan tentara Jepang yang sekarang sudah dipusatkan pada beberapa kamp – kamp penampungan besar, sudah tertutup kesempatan mendapatkan senjata – senjata lagi. Maka timbullah suasana baru di kalangan pemuda bersenjata ini dengan terbukanya kesempatan di perkebunan – perkebunan karet, kelapa sawit dan tembakau di seluruh daerah Sumatra Timur. Orang Jepang menjadi pimpinan perkebunan – perkebunan itu sudah berangkat menjelang Desember, dan menyerahkan begitu saja pengurusannya kepada karyawan – karyawan Indonesia yang bertanggung jawab kepada Dewab Perkebunan di Medan. Persedian besar karet, sisal dan kelapa sawit yang sudah bertumpuk – tumpuk selama perang adalah harta kekayaan yang tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa adanya pengamanan dan segera jatuh ke tangan kekuasaan pasukan demi pasukan pemuda bersenjata.
Kekuasaan atas perkebunan, perdagangan dalam dan luar negeri, keamanan dan pertahanan adalah hal – hal yang penting bagi TKR, Pesindo, BHL dan Sabililah untuk dibiarkan begitu saja bagi pemerintah apalagi bagi kerajaan. Pengangkatan – pengangkatan Republik yang semula, berdasarkan pertimbangan untuk menarik simpati orang – orang kerajaan telah berangsur – angsur semakin tidak cocok lagi dengan perkembangan situasi kekuatan yang sebenarnya. Hanya tokoh – tokoh politik yang mempunyai pengaruh terhadap pemuda – pemuda pejuang dapat mempertahankan suatu kadar pelaksanaan kekuasaan pemerintahan Republik.
Pada tingkat karesidenan, Tengku Hafas sebenarnya sudah tidak aktif lagi sejak akhir Januari. Pengumuman – pengumuman pemerintahan sudah ditandatangani atas namanya oleh Joenoes Nasution, ketua PKI Sumatra Timur. Pangkat semula yang diberikan kepadanya ialah “pegawai tinggi yang diperbantukan kepada residen dan kemudian wakil residen. Di Langkat, Tengku Amir Hamzah selama bulan Februari secara diam – diam mengundurkan diri dari kedudukan jabatan Republiknya karena tekanan – tekanan berat dari Sultan Langkat dan Sekretaris Sulta yang pro-Belanda, Datuk Djamil disatu pihak dan tekanan – tekanan para pemuda militan di lain pihak. Tokoh politik penting dari PNI dan bekas Gerindo, Adnan Nur Lubis, mengambil alih tugas – tugas pemerintahannya atas persetujuan KNI langkat. KNI sedang mengangkat Tengku Nizam sebagai pejabat Republik, sedangkan untuk Tebing Tinggi dikabarkan telah ditunjuk Moenar S. Hamidjojo pada akhir Januari “selaku wakil pemerintah NRI”. Tengju Musa di Asahan tetap terus tidak mau tunduk pada tekanan – tekanan pemuda, sehingga ketua KNI-nya, Abdullah Eteng bertindak menjadi saingannya dan langsung menjalankan banyak fungsi pemerintahan.
  Dalam keadaan kekuasaan kerajaan – kerajaan yang semakin tersisih itu, Sultan Siak datang di Medan pada 25 Januari. Salah seorang dari raja – raja yang banyak bikin pusing kepala Belanda selama pemerintahan kolonialnya adalah Sultan Sjarif Kasim, yang juga menjadi tokoh sangat giat sebagai ketua semacam hokokai di Riau di zaman Jepang. Rekan – rekan sultan yang lain sejak semula sudah berharap akan bantuan Belanda yang akan kembali, dia berada jauh terpencil di Karesidenan Riau untuk bisa melihat buktinya. Dibawah tekanan – tekanan keras pemuda, dia menjalankan peranan model seorang “Sultan Republik”. Pada 1 November di depan umum dia mengucapkan pernyataan kesetiakawananya dengan rakyat dalam membela Republik, kemudian menyumbang RP. 20.000 untuk perjuangan, bahkan jika diperlukan sedia menjual semua harta kekayaannya untuk kepentingan cita – cita republik. Rupanya sikap yang begitu dramatis ini tidak sedikitpun memperkuat kedudukannya yang lemah di Siak, sebab dia tidak kembali lagi ke Riau sesudah meninggalkan keresidenan itu pada bulan Januari.
Meskipun sebagai seorang tokoh yang menyedihkan dimata rekan – rekan sultannya yang lain, Sultan Sjarif Kasim menyediakan suatu kesempatan yang amat berharga bagi Gubernur Hasan untuk membuktikan kebijaksanaan politiknya dalam “membantu kerajaan mengadakan perubahan dalam pemerintahan mereka yang sesuai dengan tuntutan zaman”. Gubernur Republik ini khusus mengadakan suatu resepsi untuk menghormati Sultan Sjarif Kasim di Medan. Dalam minggu berikutnya, wartawan – wartawan Soeloeh Merdeka terus mengikuti Sultan ini untuk menyiarkan pernyataan – pernyataan pro Republiknya yang disampaikan pada pertemuan – pertemuan sederhana dengan pemimpin – pemimpin moderat. Ternyata di Tanjung Pura, dia tidak diterima di Istana Sultan Langkat, dengan siapa dia tidak berhubungan baik sejak tahun 1930, tetapi pada pertemuan dengan anggota – anggota KNI setempat dia mengatakan dasar Kedaulatan Rakyat sebenarnya adalah turut menambah kebesaran daerah – daerah kesultanan dan bukan memperkecil sebagai dugaan beberapa golongan. Dalam zaman penjajahan Belanda dan pembelenggungan Jepang, kedudukan sultan – sultan dan raja – raja tidak lebih dari seorang ‘nyai’ di dalam suatu rumah tangga, bukan sebagai “nyonya rumah”. Rasa jijik yang diperlihatkan organisasi – organisasi yang lebih revolusioner terhadap politik merayu – rayu dari pihak Republik untuk menarik baginda – baginda ini, tentu lebih keras pengaruhnya kepada raja – raja itu daripada kata – kata Sultan Sjarif Hasan. Harian  Berdjoeng memberitakan, komentarnya tentang kunjungan itu adalah “kita tidak mau kembali ke zaman feodal. Kita tidak mau tahu tentang pemerintahan seri baginda itu. Yang kita mau ialah kedaulatan rakyat hanya berada ditangan rakyat.
Sementara itu, nasib para uleebalang di Pidie tentu sudah cukup diketahui di Sumatra Timur. Raja – raja sudah tidak bisa lebih lama seenaknya mengabaikan ancaman terhadap keselamatan dirinya sendiri atau dengan angkuh menolak perlindungan apapun yang bisa diberikan para pemimpin moderat dari Republik yang “resmi”. Oleh sebab itu, mereka mengadakan suatu pertemuan kedua yang sangat serius dengan pemimpin – pemimpin Republik pada 3 Februari. Kelima Sultan di Sumatra Timur semua hadir, kecuali Sultang Serdang dikarenakan sakit – sakitan. Sultan Siak sangat menonjol dalam pertemuan itu, meskipun kerajaannya sudah tidak lagi menjadi bagian dari Karesidenan Sumatra Timur. Pertama – tama raja – raja ini mengadakan pertemuan tertutup sesama mereka dan menunjuk Sultan Langkat sebagai juru bicara dalam sidang pertama yang terbuka bagi wartawan. Dalam menyambut pidato gubernur, dengan cara yang amat sopan, untuk pertama kalinya tanpa ragu – ragu dia menyatakan dukungan raja – raja itu kepada Republik.
Pertemuan itu memberi kesempatan pertama kepada Mr. Hasan membujuk raja – raja itu untuk menerima peranannya yang baru dalam Demokrasi. Dia menegaskan, bahwa Republik sepenuhnya mengakui semua kerajaan yang ada dan “belum ada niatnya hendak menyingkirkan atau menghilangkan kerajaan – kerajaan”. Penjajahan Belanda sesungguhnya pada kenyataannya tidak pernah memberikan kebebasan kepada raja – raja ini dan mereka telah menghancurkan semangat demokrasi dari lembaga – lembaga yang asli di Sumatra untuk mereka tukar dengan  bentuk otokrasi yang khusus sengaja diciptakan bagi Sumatra Timur.
Selanjutnya Mr. Hasan mengatakan bahwa raja – raja masih ragu dan sangat khawatir akan hubungan perjanjiannya dengan Belanda, karena mereka tidak menyadari akan kekuatan yang ampuh dari posisi Republik. Jika raja – raja yang berkumpul itu tidak dapat merasakan tangan besi yang tersimpul dalam kata – kata yang lunak ini, maka masih ada Laut Siregar untuk mengingatkan, bahwa mereka akan berhadapan dengan perhitungan massa.
Peranan yang direncanakan pemimpin – pemimpin Republik itu bagi raja – raja ialah sebagai pemimpin eksekutif masing – masing daerahnya yang tunduk pada satu pihak kepada kekuasaan yang lebih atas yaitu residen dan gubernur dan pada pihak lain tunduk kepada kekuasaan legislatif dewan – dewan perwakilan di daerahnya masing – masing. Khusus Mr. Luat Siregar mendesakkan supaya kekuasaan dibagi dalam legislatif, yudikatif dan eksekutif dan hanya kekuasaan yang terakhir ini berada ditangan raja – raja. Ini jauh berbeda dari sikap pendirian raja – raja itu yang menginginkan suatu kedudukan yang disamakan dengan raja – raja di Jawa tanpa berada dibawah hirarki pemerintahan gubernur dan residen, tetapi hanya terikat pada Republik lewat seorang komisaris tinggi yang diangkat presiden, khusus untuk kerajaan – kerajaan di Sumatra Timur. Ini akan memungkinkan mereka mempunyai ruang gerak yang bebas untuk menyusun bentuk demokrasi menurut gayanya sendiri ke dalam. Gubernur Hasan menolak persamaan dengan raja – raja di Jawa ini dengan mengatakan “Di Jawa diadakan Pesuruh Jaya Tinggi untuk daerah istimewa sebagai penghargaan atas jasa – jasa Zelfbestuurder disana. Di Sumatra ini, soal pesuruh Jaya Tinggi nanti akan dipertimbangkan juga apabila telah terbukti kerja sama antara Negara Republik Indonesia dengan Zelfbestuurder. Meskipun ada perbedaan jauh dalam posisi masing – masing, tetapi kedua pihak rupanya menganggap pertemuan ini suatu keberhasilan. Mr. Hasan dan Dr. Amir meninggalkan pertemuan itu setelah minum – minum sebentar, untuk mengadakan pertemuan dengan panglima Inggris Jenderal Chambers. Sebelum berangkat Mr. Hasan memberi kuasa kepada Tengku Hafas untuk menyelesaikan detil – detil usul – usul perubahan dengan raja – raja itu. Suatu komisi Kerajaan telah didirikan untuk melaksanakan pembentukan dewan – dewan perwakilan dan mengkoordinasi pembicaraan – pembicaraan antara raja dan KNI pada setiap wilayah. Tetapi, bagaimanapun sifat eksekutif komposisi komisi kerajaan itu memberi kesan bahwa raja – raja itu masih gagal untuk menyadari sedalam – dalamnya ancaman untuk posisi mereka. Kekhawaitran sebagian mereka untuk tidak merusak dasar perjanjian mendapatkan hak perlindungan dari Belanda, telah menjerumuskan mereka kepada sikap pendekatan legalisme yang hati – hati yang pasti tidak akan memuaskan pemuda. Jika pun komisi mencapai hasil – hasil yang konkret selama sisa bulan itu, hasil – hasil ini tidak pernah diumumkan.
Konferensi tanggal 3 Februari menempatkan masalah pendemokrasian kerajaan pada pusat perhatian dan kesadaran pemuda. Hampir setiap pembicara membahas masalah ini pada setiap rapat umum peringatan setengah tahun berdirinya Republik Indonesia pada 17 Februari. Teoritikus Pesindo yang bernama Joesoef Abdullah Puar, bertanya – tanya apa yang akan terjadi dengan “tekanan kita untuk mendemokrasikan raja – raja itu, ialah mempertukarkan daulat rakyat dengan daulat tuanku yang kolot itu, dibawah rencana Belanda untuk tetap memegang berbagai macam kekuasaan bersama dengan seorang gubernur jenderal, mungkin sekali termasuk hubungan dalam suatu perjanjian. Tetapi dalam prakteknya raja – raja itu sudah lebih dulu kehilangan semua kekuasaan pemerintahannya. “Tidak saja rakyat tidak mau lagi datang ke kantor raja – raja itu disebabkan perubahan suasana secara drastis, tetapi juga sering terjadi pejabat raja – raja itu sendiri tidak lagi nampak batang hidungnya”. Praktek kekuasaan sudah dicaplok pasukan – pasukan pemuda yang menganggap setiap kompromi Republik dengan kerajaan hanya berarti memberi kesempatan hidup lebih lama kepada yang terakhir ini. Akibat nyata dari konferensi 3 Februari itu adalah meningkatnya rasa kebutuhan revolusioner yang mendesak untuk menyapu bersih anarki kekuasaan kerajaan itu sebelum terlamabat.
 Sudah merasa semakin memuncaknya tekanan – tekanan yang menjerumus pada suatu kudeta terhadap raja – raja. Gubernur Hasan berangkat mengadakan kunjungan muhibah ke seluruh Sumatra untuk satu bulan lamanya. Dalam rombongan juga hadir tokoh sebagai penegah antara pimpinan Republik dan pemuda yaitu Xarim M.S. Pejabat Gubernur Sumatra yaitu Dr. Amir, bukanlah tokoh yang dapat menandingi kewibawaan kedua tokoh ini. Seorang tokoh ahli penyakiit jiwa yang cemerlang dengan gaya hidup yang sepenuhnya Eropa, sebenarnya Amir berada diluar arus pokok kehidupan manusia. Sementara Hasan mempunyai kadar perlindungan dari pengawal – pengawal Acehnya terhadap tuntutan – tuntutan para pemuda dan bisa jadi seluruh Aceh akan maju membelanya dalam suatu krisis, Amir sama sekali tidak mempunyai pengikut. Meskipun bukan untuk memainkan pemimpin – pemimpin pemuda dengan penampilan diri yang sesuai dengan aspirasi – aspirasi mereka. Sudah sejak zaman penjajahan Jepang yang penuh dengan guncangan – guncangan jiwa, ternyata Amir mencoba menutupi tekanan – tekanan batin ini dengan melakukan secara sadar serangkaian tingkah dalam gaya yang ingin berbuat lucu. Dia senang menyebut gubernur dengan “Mangkubumi” atau “Yang Mulia”. Karena peran apapun yang dilakukannya sudah bukan dirinya lagi, Amir bisa berbuat berlebih – lebihan dan mencampuradukkan khayalan dengan kenyataan yang membahayakan dirinya sendiri. Pada setiap pukulan ayunan bendulan politik dia semakin kehilangan keseimbangan diri, sampai akhirnya bendulan itu melemparkannya sama sekali keluar.
Selama masa Pejabat Gubernur itu rupanya Amir sangat sulit menghadapi Joenes Nasution yang sementara itu menjabat sebagai residen di Sumatra Timur. Dia terlampau berlebih – lebihan menilai pengaruh dan kekuatan Joenes Naution sebagai “:Bapak kaum ekstremis” dan yakin akan pentingnya tetap mempertahankan dukungannya. Meskipun Amir pada hari – hari berikutnya menyatakan Joenes sebagai musuh utamanya dan biang keladi dari kehancurannya, tetapi kekuasaan Joenes yang singkat itu sebenarnya adalah ciptaan Amir sendiri.
B.     Persatuan Perjuangan dan Polarisasi
Gagasan “Persatuan Perjuangan” yang dilancarkan Tan Malaka mempunyai pengaruh yang sama di Sumatra seperti di Jawa dalam memberikan dasar kepada persatuan dan pengukuhan kepada tuntutan pemuda yeng meluas akan adanya perubahan yang lebih revolusioner. Karangan-karangan Muhammad Yamin pada bulan Desember yang menampilkan Tan Malaka sebagai “Bapak Republik Indonesia” telah dimuat kembali dalam harian Soeloeh Merdeka pada pertengahan Januari, hamper bersamaan dengan waktu ramainya pembicaraan mengenai pikiran-pikiran dan slogan persatuan perjuangan di Sumatra Timur. Ide Tan Malaka segera mendapatkan sambutan hangat. Dalam satu hal, nama Tan Malaka lebih terkenal daripada sebagian besar pemimpin pemerintahan. Hal ini karena Tan Malaka pernah berada di Sumatra Timur selama dua tahun. Tokoh-tokoh PKI seperti Xarim M.S, Nathar Zainuddin dan Joenoes Nasution mempunyai hubungan erat dengan Tan Malaka baik secara pribadi maupun ideologi, dan setuju dengan pendapatnya bahwa cita-cita komunisme tidak boleh menjadi penghalang bagi terbentuknya suatu front revolusioner yang seluas mungkin. Sudah tentu, inilah yang menjadi sebab mengapa mereka tegas melarang pemakaian lambang palu-arit daripada “Marah Putih”. Ketika Xarim mendengar tentang penangkapan Tan Malaka oleh Republik pada bulan Maret, dikabarkan tokoh ini telah memberi komentar, bahwa dia seharusnya juga membalas tindakan itu dengan menangkapi pembesar-pembesar Republik di Sumatra. Penangkapan Tan Malaka ini semula tidak dipercaya di Medan, dan Dr. Amir secara khusus mengeluarkan suatu pengumuman bahwa berita itu “mungkin provolasi musuh untuk mengacau rakyat. Pemerintah NRI tidak melarang adanya partai komunis, dan tetap menghormati usaha-usaha dan jasa Tan Malaka.”

Selain itu, program minimum Persatuan Perjuangan cukup menarik dan cocok dengan semangat para pemuda. Slogannya yang ringkas mantap hanya berunding di atas dasar “100% Merdeka” telah bergema dan disambut pada setiap rapat umum organisasi-organisasi selama bulan Februari. Tuntutan akan adanya tentara rakyat dan pemerintahan rakyat, penyitaan atas perkebunan dari milik Belanda, telah memberikan arah yang terang dan pengesahan kepada revolusi yang sudah bergolak di Sumatra Timur ini. Tambah lagi, terasa adanya kebutuhan di daerah ini akan adanya badan-badan organisasi untuk mengisi kekosongan yang diakibatkan runtuhnya pemerintahan tradisional raja-raja. Markas Agung telah mengisi peranan ini sebagian dan bersifat sementara pada akhir 1945, atau paling sedikit dalam mengkoordinasi pertempuran-pertempuran di jalan-jalan kota Medan. KNI-KNI telah memberi kesemptan kepada unsur-unsur moderat untuk menciptakan persatuan terpadu pada awal 1946. Persatuan Perjuangan bersifat kira-kira di antara keduanya. Sementara federasi organisasi-organisasi perjuangan di atas landasan yang lebih luas dari Markas Agoeng menampilkan suatu wadah yang lebih radikal dan kuat daripada KNI.
Tidaklah mengherankan jika PKI dan Pesindo, yang di Jawa menyokong Kabinet Sjahrir dan dengan sendirinya menjadi lawan Persatuan Perjuangan, justru di Sumatra menjadi penggerak utama gerakan baru ini. Hal ini sama dengan bentuk front yang selama ini terus coba diciptakan oleh Xarim, Nathar dan Luat Siregar. Lagi pula, Persatuan Perjuangan di Sumatra tidak pernah menjadikan gerakannya suatu kekuatan yang anti pemerintah, kecuali hanya terhadap kerajaan, karena pemerintahan Republik di Sumatra tidak mempunyai kemampuan untuk melawannya seperti yang terjadi di Jawa.
Perundingan-perundingan untuk mendirikan Persatuan Perjuangan di Sumatra dimulai oleh Xarim dan Luat pada akhir Januari, dan baru berhasil pada 11 Februari sesudah rombongan Gubernur Hasan berangkat mengadakan perjalanan kelilingnya di seluruh Sumatra. Sekitar dua puluh organisasi dikabarkan hadir pada rapat pembentukannya yang diketuai Mr. Luat, menghasilkan terbentuknya pimpinan pengurus untuk seluruh Sumatra yang diketuai oleh Sarwono S. Soetardjo dan pengurus untuk daerah Sumatra Timur yang kurang penting, dipimpin Riphat Senikentara. Persatuan Perjuangan  ini menjadi revolusioner yang berdaya guna karena menyisihkan pejabat-pejabat pemerintaha yang konservatif dan kaum cendekiawan moderat. Pimpinan pusatnya, maupun cabang-cabang yang cepat didirikan pada setiap kabupaten dan dikuasai Pesindo, PKI, dan PNI, sedangkan TKR dan MIT (Majelis Islam Tinggi) umumnya mengambil bagian yang tidak begitu penting. Usman Parinduri (PKI dan bekas Kenkokutai) menjadi pemimpin di Langkat. Tama Ginting (PNI) di Tanah Karo, Haris Fadillah (Pesindo dan bekas Kenkokutai) di Asahan.
Oleh karena pimpinan Sumatra dari Persatuan Perjuangan yang mengkoordinasi gerakan terhadap raja-raja di Sumatra Timur nantinya, perlulah diketahui susunan pengurusnya, yang ternyata sebelumnya tidak pernah disiarkan. Secara teori pengendalian berada pada suatu pucuk pimpinan yang terdiri dari wakil-wakil semua golongan bersenjata yang penting-penting. Ternyata mereka ini hanya satu kali mengadakan rapatnya pada bulan Februari, dan dalam praktiknya hanya sekelompok kecil tokoh pimpinannya yang mengambil keputusan-keputusan yang menentukan. Hal ini mungkin disebabkan karena kelompok ini sangat mirip dengan kelompok radikal Markas Agungnya Nathar Zainuddin, sehingga banyak sumber memuji keputusan Maret untuk bertindak terhadap Markas Agung ini. Tokoh-tokoh sentralnya sudah tentu Sarwono S. Soetardjo (Pesindo) sebagai ketua, Saleh Oemar (PNI) dan seorang wakil dari PKI. Wakil TKR, Ahmad Tahir, sangat kurang dikonsultasi, sdangkan Bachtiar Joenoes dari MIT/Sabilillah kebetuan sedang mengikuti rombongan gubernur.
Gerak maju dari kekuatan-kekuatan radikal ini juga jelas kelihatan di bidang ekonomi, di mana rencana-rencana ekonomi lawan saing bersaing untuk menciptakan suatu kadar penertiban dan pengawsan pemerintah. Sementara itu sebuah kelompok komunis yang diilhamo Joenoes Nasution telah membentuk Bapper (Badan Pusat Perekonomian Rakyat) Sumatra pada 11 Desember. Bersama dengan perhimpunan ekonomi serupa lainnya mereka bertujuan mengerahkan aktivitas ekonominya untuk tujuan perjuangan anti-Belanda, meskipun rencana-rencananya terlampau muluk dihiasi retorika marxis yang samar-samar. Tidak banyak terdengar lagi tentang Bapper ini sampai tanggal 5 Februari, ketika namanya ditukar dengan ERRI (Ekonomi Rakyat Republik Indonesia). Badan kerjanya, Amir Joesoef dan Boestami, menemui Gubernur Hasan menjelang keberangkatannya keliling Sumatra untuk meminta supaya ERRI diberi kuasa untuk bertindak sebagai tangan pemerintah di bidang ekonomi, bertanggung jawab atas semua perkebunan dan perusahaan di Sumatra. Merasa kekuasaan apapun yang dipunyai organisasi ini tak mungkin akan dapat melayani kepentingan pemerintah, gubernur menolak permintaan itu. Meskipun begitu, ERRI terus giat bekerja, mengorganisasi pedagang-pedagang kecil, pedagang tekstil, penjual obat dan sebagainya, dihimpun dalam serangkaian organisasi usaha sejenisnya atas dasar koperasi. Pengumuman Luat Siregar pada 12 Februari bahwa KNI tidak lagi mempunyai seksi ekonominya tentulah ada hubungannya dengan sokongan sayap kiri kepada ERRI.
Meskipun bentrokan-bentrokan bersenjata dengan tentara Inggris, Belanda ataupun Jepang sangat kurang dalam bulan Februari itu, tetapi situasi revolusioner cepat berkembang semakin panas. Pada peringatan enam bulan pada 17 Februari para juru bicara pemuda berpidato dalam semangat baru yang tinggi. Mereka bukan saja berjuang untuk 100% merdeka, tetapi juga terlibat dalam kewajaran tuntutan revolusi yang mendesak. “Sejarah tidak pernah mengenal suatu revolusi yang begitu menegangkan panasnya seperti revolusi Indonesia.” Luat Siregar mengutip kata-kata Soekarno, bahwa keduanya, revolusi nasional dan revolusi sosial sedang berjalan. “Yang terutama sekali sekarang, terutama untuk pemimpin-pemimpin pemerintahan, agar mereka menyesuaikan pendirian dan jiwanya dengan revolusi sosial ini. Sebab di kalangan pemerintahan kadang-kadang ada kelihatan bahwa hanya ‘bersifat pertukaran saja’, artinya pembesar-pembesar Belanda ditukar dengan Jepang dan pembesar-pembesar Jepang ditukar dengan bangsa Indonesia.” Kritik yang lebih khusus segera muncul dalam harian Berjoeang yang mengecam, bahwa walikota Medan, Mr. Joesoef sudah terlampau jauh bekerja sama dengan Inggris. Apabila kampanye dalam rapat-rapat umum yang diadakan Persatuan Perjuangan semakin luas dan gencar membangkitkan semangat, maka pembesar dan pejabat Republik mulai dirasakan sebagai batu-batu penghalang dari revolusi yang sedang berjalan.    
Ketiadaan suatu partai yang tegas sejalan bersama pemerintah dalam menciptakan stabilitas sudah diuraikan sebelumnya. Pemerintahan Sjahrir bersungguh-sungguh ingin membuktikan kepada Sekutu bahwa dia memimpin suatu pemerintahan yang tertib teratur dan perintah-perintahnya ditaati. Posisinya yang lemah di Sumatra ini telah dipergunakan Belanda sebagai alas an untuk menolak pemerintahan de facto Republik atas pulau itu. Tetapi, partai-partai marxis yang di Jawa  menjadi pendukung utama pemerintah ternyata di Sumatra tidak terwakili atau bersikap lebih menerima garis radikal Tan Malaka daripada garis politik moderat yang ditempuh Sjahrir.
Baru pada awal Februari partai penting di Jawa yang mendukung pemerintah, partai Sosialis, mengirim seorang tokoh propagandis ke utara Sumatra. Tokoh ini ialah saudara tua Sjahrir, Noer Alamsjah, pemimpin Parindra di Sumatra Utara sebelum perang, dan sekarang mewakili sayap yang paling moderat partai itu. Dia tidak berusaha melakukan seperti yang mungkin diusahakan seorang teman separtainya yang menjalankan garis pro-Moskow dari Amir Sjarifuddin untuk meyakinkan PKI di Sumatra bahwa kondisi-kondisi Internasional mengharuskan adanya sokongan yang tegas bagi pemerintahan Sjahrir atau Amir Sjarifuddin. Justru sebaliknya, ternyata Noer Alamsjah memusatkan perhatiannya kepada kaum intelektual yang nasionalis moderat, yang sudah khawatir dan gelisah terhadap gerakan massa yang sudah tidak terkontrol itu dan berusaha untuk kembali kepada kepemimpinan elite politik.

Menjelang pertengahan Februari kegiatannya telah menghasilkan dua panitia yang saling bersaing dalam apa yang masih dinamakan Parsi (Partai Sosialis Indonesia, nama partai Amir Sjahrifuddin sebelum berfusi dengan partainya Sjahrir). Yang satu terdiri dari seluruhnya dari kaum cendekiawan moderat dan lainnya berlandaskan unsur-unsur PNI-baru Sjahrir sebelum perang yang tidak puas terhadap PNI. Meskipun pemimpin Parsi tetap berada dalam kebingungan selam bulan-bulan berikutnya, tetapi segera semakin jelas partai ini mendapatkan kekuatannya dari dua sumber yang nyata. Yang pertama ialah rapatnya hubungan mereka dengan pejabat-pejabat Republik dan Pemerintahan Pusat; dan lainnya ialah kekuatan pasukan ke-V dari Dr. Nainggolan yang merupakan salah satu dari yang pertama menyatakan mendukung kaum Sosialis itu.
Meskipun tidak banyak yang bisa diketahui dari pers Republik tentang Pasukan ke-V, tetapi badan perjuangan ini mengambil sikap terhadap radikalisasi pasukan-pasukan lainnya dengan memperkuat persekutuannya dengan kelompok-kelompok pemuda Melayu yang bertekad mempertahankan Kerajaan. Di samping kekuatannya yang dikatakan berjumlah 50.000 (di Sumatra Timur 10.000 orang) yang sebagian besar terdiri dari suku Batak Toba, sekarang Pasukan ke-V sudah mempunyai sayap kekuatan bersenjata Melayu di Sunggal dan beberapa pendukung di Tanah Karo yang kedua-duanya membela kekuasaan raja-raja yang dulunya dilawan oleh gerakan aron dan penerusnya Kenkokutai. Pasukan ke-V kembali bentrokan dengan Pesindo dalam bulan Februari, pemimpin-pemimpinnya ditahan untuk kemudian dihadapkan pada suatu rapat dengan tuduhan membantu NICA dan polisi Republik. Pada 23 Februari Pasukan ke-V mengadakan konferensi di Kisaran untuk mengesahkan perpecahannya dengan Pesindo dan penggabungan mereka dengan kaum Sosialis. Partai sosialis yang baru itu tentulah telah ikut memberi kesan kepada kaum revolusioner, bahwa pejabat-pejabat Republik, Kerajaan, dan bisa jadi juga Belanda sedang mencoba sebentuk reaksi yang bersifat konservatisme.
Begitu juga di daerah-daerah lain, garis permusuhan sudah semakin jelas ditarik. Pejabat Republik di Tanah Karo, Ngeradjai Meliala, telah memakai sepasukan TKR yang setia kepadanya untuk menangkap Pajung Bangun dan pemimpin-pemimpin Harimau Liar lainnya berdasarkan tuduhan bertanggung jawab terhadap sejumlah pembunuhan. Barisan Harimau Liar dan lain-lain pasukan PNI bersiap-siap untuk mengambil tindakan balasan terhadap diri Ngeradjai Meliala. Sementara itu, hubungan di Asahan antara Wakil Pemerintah Republik yang resmi, Tengku Musa dan pasukan-pasukan pemuda yang umumnya dipimpin bekas anggota-anggota yang dilatih Talapeta berkembang semakin gawat. Polisi dan sepasukan kecil TKR di bawah pimpinan seorang Melayu setempat, Letnan Karim Saleh, mencoba mempertahankan wewenang kekuasaan Tengku Musa, mengakibatkan mereka akhirnya tersisih sama sekali dari gerakan pemuda selebihnya. Dengan memuncaknya tekanan untuk bertindak terhadap raja-raja, Dr. Amir telah bisa diyakinkan untuk berangkat dengan kereta api istimewa pada 27 Februari untuk meninjau tempat-tempat yang paling genting, yaitu Pematang Siantar yang menjdi Markas Pusat persatuan perjuangan dan Asahan. Bagi wakil-wakil PKI dan Pesindo kiranya ini merupakan kesempatan untuk membuktikan kekuatan keinginan rakyat dalam menyambut pidato Dr. Amir dan Joenoes Nasution pada setiap pemberhentian kereta api. Kereta api mereka telah dicegat di Tebing tinggi dan Kisaran oleh ribuan orang menyampaikan tuntutan supaya “musuh-musuh dan penghalang kemerdekaan” ditumpas. Di Tanjung Balai rombongan dijamu dengan ramah oleh Sultan Asahan. Pada rapat umum besok harinya Sultan ini menganjurkan penggalangan kerja sama untuk memperjuangkan cita-cita Republik, tetapi 20.000 pengunjungnya menuntut segera adanya tindakan nyata. Dalam suatu pertemuan tersendiri antara pemimpin-pemimpin Persatuan Perjuangan telah ditunjukkan bukti adanya hubungan Kerajaan Asahan dengan Belanda. Di Siantar rombongandihadapkan dengan slogan-slogan yang dicoretkan pada tembok-tembok rumah seperti “raja-raja menghisap darah rakyat” dan “rakyat menjadi hakim”. Pekik “merdeka” dengan kepalan tangan diacungkan ke atas berbaur dengan pekik “darah” yang menuntut pembalasan terhadap raja-raja.
Rombongan resmi ini kembali di Medan 2 Maret. Dr. Amir rupanya yakin dia telah berhasil membujuk pemimpin-pemimpin partai itu untuk menunda gerakan tindakannya, paling sedikit sampai pulangnya rombongan Gubernur Hasan ke Medan. Tetapi besoknya, “revolusi sosial” mulai bergolak di Sumatra Timur.
C.    Malam Berdarah
Perencanaan kudeta adalah pekerjaan suatu kelompok radikal di dalam tubuh persatuan perjuangan yang mencakup pimpinn Pesindo, PNI dan PKI. Alasan dilakukana tidakan ini ialah simpati raja-raja terhadap Belanda dan ancaman yang ditampilkannya terhadap kemerdekaan. Hakikat tindakan yang dilancarkan pada 3 maret ialah menangkapi raja dan pendukung-pendukung utamanya dan menggedor istana-istana untuk mencari harta kekayaan mereka dan bahan propaganda pro-Belanda yang diperkirakan akan bisa diketemukan. Revolusi sudah banyak memberi contoh-contoh untuk menegakkan kedaulatan rakyat dengan cara ini. Inti radikal dari persatuan perjuangan diperkirakan tidak akan menghadapi perlawanan yang serius karena tindakan telah dijalankan pada 3 Maret malam. Tanah karo menjadi salah satu contoh dari cara operasinya. Sarwono menyampaikan instruksi-instruksinya lewat telepon kepada pemimpin persatuan perjuangan disana, Tama Ginting, yang segera mendapat dukungan dari pemimpin yang mempunyai pasukan bersejata terkuat di daerah itu, Selamat Ginting. Segera secara terburu-buru mereka mengadakan rapat persatuan perjuangan pada 3 Maret di Brastagi dan memastikan hadirnya para Raja Urung dan Sibayak. Sebagian dari mereka, tujuh belas orang semuanya, kemudian ditangkap dan diasingkan di Aceh Tengah. Diantara yang ditangkap termasuk wakil pemerintah NRI dan kedua bersaudara Nerus dan Nolong Ginting Suka yang merupakan orang-orang kuat dalam politik. Kaum Aristokrasi Tanah Karo ini banyak kehilangan tanah-tanahnya yang sudah teririgasi yang sejak tahun 1930 sudah menjadi sumber sengketa. Tetapi rumah-rumah dan kaum keluarga mereka tidak diganggu. Tidak ada pertumpahan darah.
Faktor-faktor yang memungkinkan operasi ini berjalan tertib di Tanah Karo tidak terjadi di lain-lain tempat. Aristokrasi  Karo lebih berbetuk suatu birokrasi ciptaan Belanda yang secara sosial dan ekonomi tidak begitu berada dengan orang lain sesukunya. Pemimpin-pemimpin pemudanya semua dari suku Karo yang mempunyai pertautan keluarga dengan Sibayak dan Raja Urung. Lagi pula, unsur yang paling keras melawan, anak-anak didik Inoue dalam BHL telah ditangakap oleh Ngeradjai Meliala. Tanah Karo mengalami pertumpahan darahnya hanya pada tahun 1947, setelah Pajung Bangun dan kawan-kawannya dibebaskan.
Sebagian besar pasukan bersenjata yang penting di Simalungun terdiri dari pemuda-pemuda Batak Toba yang mendirikan markasnya di Pematang Siantar atau di perkebunan-perkebunan. TKR, yang sejak januari telah ditukar namanya menjadi tentara Republik Indonesia (TRI) dan berkekuatan lumayan itu telah memindahkan markas besarnya ke Pematang Siantar belum lama berselang. Lewat telepon, Kolonel Tahir telah menyatakan persetujuannya atas penangkapan-penangkapan yang dilakukan persatuan perjuangan terhadap raja-raja itu. satu-satunya kekuatan radikal yang terdiri sebagian besar dari orang-orang Simalungun adalah Barisan Harimau Liar di bawah pimpinan Saragih Ras yang mewarsis kekuatan Kenkokutai di pedesaan. Ketika Saleh Oemar mengeluarkan instruksinya kepada pemimpin-pemimpin Pesindo, Napindo (BHL) dan PKI di Pematang Siantar untuk meangkapi raja-raja di Simalungun, telah disetujui bahwa peranan utamanya akan dilakukan oleh BHL untuk mencegah terjadinya tuduh-menuduh yang bersifat kesukuan, terutama di daerah tradisional pedalaman Simalungun. Paradoksnya, justru ini membawa lebih celaka bagi raja-raja itu. di pedalaman Simalungun tidak terdapat adanya oposisi terpadu terhadap pemerintahan raja-raja dan BHL yang bertindak di daerah-daerah ini dipimpin oleh beberapa tokoh yang mempunyai dendam pribadi dan dibantu sedikit pengikut-pengikutnya yang tidak terpelajar.
Raja dari Pane, terhadap siapa Saragih Ras mempunyai sakit hati, ditangkap BHL pada 3 Maret malam beserta seluruh keluarganya dan harta bendanya berikut pakaian telah dirampas. Raja ini dan beberapa pengikutnya dibawa ke suatu tempat pertahanan BHL di mana diadakan upacara pesta dan kemudian semuanya dibunuh. Besuk harinya Barisan Harimau Liar mengejar dan menangkap raja dari daerah tetangganya, Raya, dibawa ke jembatan besar untuk dibunuh. Rumahnya diobrak-abrik, emas dan barang-barang berharganya juga dirampok. Raja ketiga di hulu Simalungun, Raja Purba, beruntung telah diselamatkan dengan kekerasan dari tangan BHL oleh sepasukan TRI. Yang keempat, Raja Silimakuta kebetulan berada di Siantar ketika rumahnya disergap dan kemudian dibakar. Bersama dengan raja-raja Simalungun lainnya, kedua raja ini akhirnya mendapatkan pengamanan tahanan TRI di Pematang Siantar, sedangkan banyak kaum keluarganya tidak  di“aman”kan dengan cara begini.
Kekerasan yang dimuali 3 Maret itu paling parah berlaku di kabupaten asahan, di selatan karesidenan. Di sini tidak terdapat adanya suatu kekuatan moderat antara pemuda bersenjata dan segolongan pejabat pendukung kerajaan yang keras kepala yang dipimpin Teuku Musa, yang tetap masih mewakili republik “resmi”. Satu-satnya kekuatan TKR/TRI di seluruh kabupaten ini hanyalah sepasukan kecil di Tanjung Balai yang condong menyokong Kerajaan. Para pemimpin kelompok-keompok bersenjata pemuda — Pesindo, Napindo dan Sabilillah — semuanya adalah orang-orang politik yang belum berpengalaman dan mendapat latihan pokoknya dari Talapeta yang didirikan Inoue. Sedangkan, Abdullah Eteng, pemimpin Kenkokutai Asahan dan kemudian KNI, berada dalam tahanan rumah oleh pemuda selama “revolusi sosial” itu.
Pada 3 Maret ribuan orang bersenjata berkumpul di Tanjung Balai sebagai reaksi desas-desus bahwa Belanda akan melakukan pendaratan. Mereka dikerahkan untuk mngepung istana. Terjadi tembak menembak yang menimbulkan kekacauan dengan TRI dan polisi yang rupanya mencoba melindungi istara. Mereka terpaksa akhirnya menyerah dan istana itu diserbu, tetapi sultan yang muda dan gesit itu sempat meloloskan diri. Sesudah pengejaran yang menegangkan, dengan bersembunyi di rawa-rawa bakau dan tiga kali berenang menyeberangi sungai, akhirnya sultan ini berhasil menyelamatkan diri pada suatu pos pengawal sisa tentara jepang, tujuh belas hari kemudiannya.
Sementara itu para pemuda mncari sasarannya yang lain. Tengku Musa adalah yang pertama dalam daftar mereka. Dia dengan istri belandanya dan seisi rumah tangganya disergap pada 3 Maret malam. Semuanya segera dibunuh. Besuk harinya semua aristokrat melayu yang pria di kota itu ditangkap dan kemudian dibunuh juga. Dalam beberapa hari sudah sekitar 140 orang kedapatan mati terbunuh dikota itu, termasuk beberapa penghulu dan pegawai-pegawai didikan belanda, serta seluruh kelas “tengku”. Sebagian besar janda dan anak-anak mereka mati ini kemudian diasingkan dan rumah mereka digeledah untuk mencari harta. Istana dijadikan gedung rakyat dan juga dijadikan markas yang mewah oleh Pesindo.
Tindakan yang lebih ganas telah dilakukan di lima kerajaan kecil daerah Labuhan Batu, jauh di Selatan Sumatra Timur. Menurut, suatu laporan persatuan perjuangan kemudian, sebabnya ialah di daerah ini “raja-rajanya telah menindas tanpa kenal batas terhadap rakyat dan kaum pergerakan”. Gerakan pertama pada 3 Maret hanya dilancarkan pada ibukota distrik, Rantau Prapat, tempat kedudukan Sultan Kualah. Wakil pemerintah NRI, Tengku Hasnan dan tiga pembantu utamanya disergap pada tengah malam dan dibawa ke pinggir sungai yang curam untuk dibunuh. Tengku Hasnan dan Tengku Long dipenggal kepalanya, sedangkan dua lainnya sempat lebih dulu terjun ke sungai menyelamatkan dirinya. Pada waktu yang sama istana Sultan Kualah di Tanjung Pasir dikepung, kemudian diserbu dan semua penghuninya ditawan. Sultan yang tua serta berhati keras itu bersama salah seorang putranya besoknya diketemukan sedang sekarat karena tusukan-tusukan tombak di kuburan Cina. Beberapa pemuda membawanya ke “rumah sakit”, tetapi sejak itu dia tidak pernah dijumpai lagi. Lain-lain orang pentinga dalam pemerintahan kerjaan juga dibunuh dan keluarganya ditawan.
Tetapi dikesultanan yang lebih besar— Deli, Serdang dan Langkat — persatuan perjuangan menghadapi oposisi yang lebih keras. Kesultanan yang paling cukup terlindung adalah Serdang, bukan saja karena sejarahnya yang relatif anti BBelanda, tetapi juga karena pasukan TRI di Perbaungan, kota kedudukan sultan, berada di bawah pimpinan Kapten Tengku Noerdin. Kapten ini adalah seorang aristokrat muda Serdang, bekas perwira latihan Giyugun, dan kemenakan dari Tengku Nizam yang menjadi ketua KNI daerah itu. Kapten Noerdin mendapat persetujuan dari Kolonel Ahmad Tahir untuk mengambil kekuasaan di tangan sendiri. Pada 4 Maret, peralihan kekuasaan cepat dirundingkan dan pejabat-pejabat kerajaan dan kaum aristokratnya ditawan di istana dalam keadaan yang menyenangkan.
Istana Sultan Deli yang terletak dekat “benteng” pertahanan sekutu di Medan, begitu “Revolusi sosial” dimulai, begitu istana sudah berada dalam perlindungan inggris. Pemuda-pemuda melayu yang diorganisasi PADI dengan persenjataannya yang menyedihkan itu, bersama dengan pasukan ke-V yang persenjataannya lumayan sudah siap membela datuk-datuknya. Istana Langkat dipertahankan oleh penjaga istana langkat (PIL) yang pada bulan januari telah diberi Inggris sekitar 40 pucuk senjata. Pasukan ini menjai kuat lewat persekutuannya dengan pasukan ke-V. Tugas pertama pemuda-pemuda revolusioner itu ialah menyapu bersih kekuatan bersenjata ini.
Pertempuran sengit berlangsung di Sunggal (Serbanyaman), di mana perpecahan yang mengandung dendam sejak tahun 1942 itu tidak pernah bisa diatasi dan datuk yang berkuasa disitu mempunyai senjata yang cukup. Pasukan Pesindo menyerang markas pasukan ke-V pada malam 3 Maret, tetapi serangan ini telah dipukul mundur, dikabarkan dengan meninggalkan delapan orang yang tewas. Sebagaian besar kaum aristokratnya menyelamatkan diri ke istana Maimun Sultan Deli pada 4 Maret, sehingga Pesindo hanya dapat menangkap dan membunuh Datuk Abbas. Pasukan bersejata melayu di Sunggal terus mengadakan perlawanan sampai 6 Maret, tetapi dengan kekalahan-kekalahan yang diderita pasukan ke-V dan pasukan PADI di berbagai front, posisi mereka tidak bisa dipertahankan lagi. Pemimpinnya Datuk Itam menyerahkan kekuasaan kepada pemimpin-pemimpin gerakan politik, menyerahkan senjata-senjatanya dan cepat lari ke Medan. Inggris melaporkan dua puluh orang yang mati dalam pertempuran di Sunggal, tetapi jumlah ini bertambah lagi dua hari kemudian ketika lima orang melayu kembali ke Sunggal untuk mati secara terhormat dengan jalan mengamuk membunuh musuh-musuhnya.
Di Labuhan Deli juga terjadi pertempuran kecil-kecilan yang berakhir dengan ditangkapnya sejumlah 40 orang melayu, termasuk pemimpin-pemimpin PADI dan penghulu. Di mana-mana pasukan ke-V dipukul hancur. Pemimpinnya, Dr. Nainggolan ditangkap, dimasukkan ke dalam karung untuk dibunuh. Tetapi dokter ini sempat diselamatkan pada  saat yang genting. Betapapun, Dr. Nainggolan tidak dapat melupakan kepedihan hatinya atas pembunuhan istri dan putrinya.
Istana Langkat di Tanjung Pura adalah terlampau kuat bagi pemuda untuk dikuasai pada penyerbuan pertama. Ketika tekanan-tekanan semakin memuncak di sekitar dirinya, Sultan Langkat menolak untuk memberikan aba-aba yang sudah ditentukan lebih dahulu untuk mendapatkan penyelamatan dirinya dari pasukan-pasukan Sekutu atau Jepnag yang dekat dari Tanjung Pura. Tau akan bahaya-bahaya yang mengancam seluruh aristokrat melayu didaerahnya apabila dia mengambil langkah itu, maka sultan ini lebih memilih jaminan-jaminan dari Gubernur Hasan dan bekas dokter pribadinya, Dr. Amir. Sementra itu, sejak 4 Maret, Pesindo Binjei mulai menangkapi pejabat-pejabat kerajaan dan orang-orang Batak Sisikan Belanda dari pasukan ke-V. Diantara yang pertama diambil dari rumahnya ialah Tengku Amir Hamzah, yang secara resmi masih menjadi wakil pemerintah NRI.
D.   Revolusi atau Perebutan Kekuasaan
Kekerasan 3 maret menghancurkan apa yang masih tersisa dari pemerintahan Republik di Sumatra Timur.Pejabat-pejabat yang selamat lebih memilih mengurung dirinya di rumahnya masing-masing.Keadaan seperti ini menjadi momentum para revolusioner untuk melakukan perubahan dalam pemerintahan.Perubahan yang dimaksud adalah menghapus kekuasaan yang feodal atau kerajaan menjadi kekuasaan yang demokrasi atau berdasarkan kedaulatan rakyat.Tokoh-tokoh perubahan itu adalah pemimpin-pemimpin PKI dalam pemerintahan,Luat Siregar dan Joenoes Nasution sebagai posisi kunci denga Dr.Amir sebagai tokoh ideal yang melakukan perubahan itu.Sebagai Pejabat Gubernur Dr.Amir bekerja keras dan menunjukkan keberanian  dengan memimpin berturut-turut dari satu rapat ke rapat lain,mengeluarkan banyak pengumuman Pemerintah.Dr.Amir bekerjasama dengan Inggris dan menyakinkan Inggris bahwa ia dalah penganut komunis  dan mencoba berkhotbah didepan Pesindo dalam gaya dan bahasa revolusi.Tindakan Dr.Amir seperti itu telah menunjukkan terjadinya Revolusi Sosial.
Lalu Dr.Amir mengumumkan sebuah pengumuman.Dengan tiba-tiba seluruh rakyat Sumatra Timur bertindak menegakkan keadilan dan memberantas kedzaliman didaerah masing-masing.Hal itu menujukkan gerakan revolusi sosial yang hebat.Tindakan rakyat untuk melakukan perubahan feodalis menjadi demokratis harus dilakukan dengan perhitungan laba rugi supaya korban revolusi sosial sedikit.Gaya bahasa Dr.Amir sama dengan gaya Luat Siregar.Dalam pengumuman disebutkan pengangkatan Joenoes Nasution sebagai pejabat penanggug jawab daerah Sumatra Timur dan Mr.Luat Siregar sebagai pejabat pendamai dengan kekuasaan penuh.KNI-KNI setempat  telah diminta kerja samanya selama Mr.Luat mengunjungi setiap distrik.Pengumuman ini membingungkan posisi TRI.Pengumuman itu hanya menyebut koordinasi antara pemerintahan baru,Persatuan Perjuangan,KNI,TRI dan Kepolisian.Dalam terbitan Soeloeh Indonesia memuat pengumuman Kolonel Ahmad Tahir bahwa TRI mengambil alih semua pemerintahan di Sumatra Timur sejak tanggal 5 Maret ,kecuali kota Medan untuk menghormati Sekutu.Kolonel Tahir dan penasihatnya merasa khawatir dengan tindakan anarki itu.
Selama Mr.Luat berkeliling,Dr.Amir dan Joenes Nasution memimpin serangkaian rapat panas didekat Medan.Tanggal 6 Maret Dr.Amir mencoba meredakan permusuhan Pesindo dengan menegaskan Pasukan ke V telah dibubarkan dan diserap kedalam Partai Sosialis,sedangkan Pesindo berpura-pura menerima suatu dewan penasihat yang terdiri dari cendekiawan-cendekiawan moderat untuk membenahi partai itu.Besoknya diadakan rapat sengit di Medan untuk mencoba menyelesaiakan masalah Kerajaan.Sementara KNI yang sudah diperluas dengan wakil-wakil semua partai dan golongan-golongan pemuda membicarakan masalah ini,ribuan orang membanjiri luar gedung untuk membubarkan Kerajaan.Beberapa menit kemudian,Joenoes keluar dan menyampaikan pengumuman bahwa Kerajaan akan dibubarkan dan kekuasaan akan dialihkan kepada Badan Pekerja KNI Deli.Selanjutnya tokoh-tokoh Kerajaan ditangkap termasuk sekretaris Sultan Deli Mr.Mahadi .Datuk Serbanyaman menyerahkan Kesultanan Deli kepada KNI.
Di Langkat perpecahan dikalangan barisan pemuda menjadi penghalang terjadinya restorasi kekuasaan yang cepat.Joenoes menghadiri rapat di Binjei yang juga diganggu demonstrasi karena penghapusan sistem kerajaan tanpa penjelasan penggantinya.Lalu rapat KNI dilaksanakan dengan memutuskan peralihan kekuasaan dilaksanakan secara tertib .Tengku Saidi Husni bekas pejabat polisi ditetapkan sebagai wakil Pemerintah NRI di Langkat.Di Tanah Karo berjalan lancar Karena para  pemuda terkemuka memutuskan untuk mengajukan Rakuta Sembiring sebagai penguasa Republik yang baru.Sementara menurut pengumuman Kolonel Ahmad Tahir ,Mayor Kasim Nasution ditunjuk sebagai Kepala Pemerintahan.
Kunjungan Mr.Luat sebagai pendamai pertama kali di Pemantang Siantar disertai Sarwono dan Saleh Oemar/Dia menjelaskan bahwa sistem kerajaan dihapus karena mereka terbukti berhubungan dengan Belanda.Pemilihan pemimpin pemerintah Kabupaten Simalungun sangat hebat,setiap dari 30  organisasi yang hadir masing-masing mempunyai satu suara penuh.Urbanus Pardede memenangkan dan Madja Poerba yang saat itu sedang menjabat jabatan itu diangkat sebagai asisten Urbanus.Lalu Mr.Luat sampai di Tanjung Balai.Mereka menyuruh supaya Abdullah Eteng dibebaskan dari tahanan rumahnya dan lansung mengangkatnya sebagi wakil pemerintahan Asahan.Daerah Batu bara dilanggar revolusi sosial dan rombongan Mr.Laut hanya mengawasi penangkapan raja-raja kecil.Raja-raja ini ditahan di Pemantang Siantar dan dirampok.
Perjalanan Mr.Luat dan rombongannya dilanjutkan ke Rantau Prapat.Revolusi berjalan lancar dengan menangkap Sultan Bilah dan Sultan Kota Pinang.Lalu mencapai Labuhan Bilik dengan Tiga tokoh Tengku ditangkap dan dibunuh.Ketika rombongan Laut pergi mempunyai kesan bahwa Abdul Rachman sebagai wakil Republik ,tetapi ketika Persatuan Perjuangan datang kesitu ternyata tidak ada pemimpin pejabat yang bisa ditemui sehingga revolusinya dibenahi.Seminggu lamanya semangat revolusioner berkecamuk di Sumatra Timur dan ada orang yang berani menghalanginya.Bahkan gerakan Islam cepat mengikuti arus ini dan member kekuasaan untuk aktivis muda dari Muhamadiyah yang anti Kerajaan.Tengku Jafizham ditangkap di stasiun Medan.MIT menyatakan bahwa menjadi cabang Sumatra Timur dari Masjumi yang berpusat di Jawa.H.A.R Sjihab (wasliyah),Yunan Nasution (Muhamadiyah) dan Bachtiar Joenoes (Muhamadiyah dan Sabilillah).Tanggal 8 Maret ditetapakan hari revolusi sosial pada setiap khotbah sembahyangan Jum’at.Yunan Nasution mengatakan bahwa raja-raja telah membiarkan Islam terbelakang dan kolot.Di Binjei para ulama Muhamadiyah berkhotbah di Mimbar dengan pedang seperti Nabi Muhammad.
Besoknya Dr.Amir memberimkuasa kepada pimpinan Masjumi unyuk mengambil alih kekuasaan administrasi agama di Sumatra Timur dan menggantikan kadhi dari Kerajaan.Segera mungkin Sjihab melaksanakan manadat dan melakukan pertemuan dengan 9 ulama tapi semua ulama tidak mengerti tentang pembaharuan revolusi sosial.Para ulama menerima Presiden Soekarno sebagai kepala pemerintahan yang sah.Tanggal 18 Maret  diangkat kadhi-kadhi baru aliaran reformis dan diberi kekuasaan.Hal itu melanggar kedaulatan rakyat karena tidak dipilih rakyat.Masjumi tegas menjawab bahwa dalam urusan agama yang berdaulat adalah Tuhan bukan rakyat.
Yang paling bergairah memberi arah revolusioner selama Republik dalam keadaan kacau adalah ERRI.Pemimpin ERRI datang kepada Dr.Amir 6 Maret denga tuntutan-tuntutan yang pernah ditolak Gubernur Hasan,mereka mendapat pengakuan resmi.ERRI diberi kekuasaan untuk mengatur perekonomian Sumatra.Lalu ERRI mengangkat inspector pada setiap sector dan bertindak seolah-olah menjalankan semua fungsi penghasilan pemerintah.Semua perkebunan dan perdagangan luar negeri diserahkan kepada ERRI.Petugas-petugasnya berhasil memblokade daerah pendudukan sekutu di Medan,menyita semua bahan makanan dan mengambil alih barang-barang pada toko-toko Cina dan India dengan harga nominal.Di Aceh,ERRI mengenakan bea ekspor dari Pelabuhan Meulaboh.Sebelum ERRI bubar ,organisasi ini mencoba melaksanakan rencana luas dibidang kesehatan bagi seluruh Sumatra Timur dengan mengerahkan tenaga medis dan obat-obatnya.
Hal ini menunjukkan kemajuan sejarah tentang dialetikannya perkembangan menuju masyarakat dan pengambilan barang didasarkan atas teori sama rata sama rasa.Tokoh terbesar ERRI adalah Joenoes Nasution yang penguasaannya atas marxisme sangat diragukan .Tiga kecaman pokok dari menteri-menteri penyebab berakhirnya ERRI.Ketiga tuduhan itu adalah yang pertama tujuan ERRI mengambil alih penghasilan negara supaya bisa membiayai partai plitik,pasukan pemuda dan pemerintahan.Kedua adalah tokoh-tokoh ERRI dituduh mengambil jutaan rupiah untuk kepentingan sendiri dan Ketiga adalah meniru cara Jepang menguasai dengan paksa bahan makanan dari petani kecil yang menimbulkan penderitaan.Benar atau tidaknya tuduhan-tuduhan itu yang pasti bahwa tujuan-tujuan ERRI membawanya pada konflik-konflik dengan masalah ekonomi pemerintah atau organisasi pemuda.
E.     Reaksi
Seperti dengan keras telah dipenringatkan oleh Crane Brinton, suatu reaksi Thermidore bisa timbul pada setiap revolusi dengan hadirnya “kemerosotan moral” dan “perlawanan terhadap mereka yang menciptakan teror”. Tetapi reaksi begini tidak begitu saja dengan sendirinya bisa diatasi, mengubah mereka dalam sekejap mata mendadak menjadi Napoleon-Napoleon.
Di sumatera Timur reaksi ini mulai hanya sepuluh hari setelah dicetuskan “revolusi sosial”itu sebagai tantangan langsung terhadap berita-berita mengenai pembunuha–pembunuhan manusia itu. Karena pertumpahan darah itu terjadi mula pertama di daerah terpencil jauh di selatan keresidenan, maka diperlukan beberapa waktu sebelum orang di Medan menyadari akan akibat-akibatnya yang begitu luas. Disamping itu, jatuhnya Singasana kesultanan Langkat yang megah itu langsung menggegerkan seluruh elite politik di daerah ini.
Setelah berunding dengan sultan mengenai penarikan mundur pengawal bersenjatanya dari Tanjung Pura untuk menghindarkan konfrontasi, pada 8 Maret pemuda-pemuda PKI dan Pesindo di bawah pimpinan bekas kader-kader kenkokutai mengepung istana langkat. Pada tanggal 9 malam aliran listrik dimatikan dan istana diserbu. Semua penghuninya digeledah dan ditangkap dan dua hari kemudian tujuh Tengku-Tengku yang paling terkemuka dalam politik diangkut dan dipenggal mati dan pemerkosaan terhadap dua putri sultan pada malam itu oleh pemimpin-pemimpin pasukan. Para pelakunya harus membayar kembali perbuatannya sebulan kemudian ketika pemuda-pemuda islam mengadili dan kemudian membunuh mereka. Sultannya serta beserta keluarga wanitanya ditawan dan beberapa minggu kemudian diserahkan pembesar-pembesar Republik di Brastagi. Yang kurang beruntung adalah sekelompok aristokrat melayu dan tokoh-tokoh pasukan ke V yang ditangkap di Binjei pada hari-hari pertama di “revolusi sosial” itu. Delapan belas diantara mereka telah dibunuh atas perintah Pesindo pada 19-20 Maret termasuk Tengku Amir Hamzah. Diperkirakan semuanya berjumlah tiga puluh delapan bangsawan Langkat mengalami nasib pembunuhan. 
Kejadian-kejadian sampingan di Langkat menyebabkan mereka ragu-ragu karena revolusi sosial itu telah bertindak terlampui jauh. Suatu bentuk tekanan yangsifatnya lain sekrang ditimpakan kepada Dr. Amir terutama oleh Dr. Gindo Siregar yang sementara itu telah menjadi tokoh kuat dalam partai Sosialisnya Sjahrir. Juga tekanan dilakukan oleh jaksa yang bersikap keras di Asahan, Mutalib Moro, seorang tokoh yang selamat terhindar dari kekerasan revolusi oleh karena kesanggupan melayani semangat pemuda dan keperayaannya akan bantuan gaib. Dr Amir mengumumkan rapat KNI dan Persatuan Perjuangan pada 13 Maret dengan harapan revolusi sosial kita ini tidak saja merupakan pembasmian dan penghancuran tetapi juga akan menghasilkan kehidupan baru bagi rakyat. Kemudianrapat itu dengan hormat menarik kembali mandat Joenes sebagai residen dan Luat Siregar sebagai pendamai dan seterusnya memilih suatu Dewan Pemerintah terdiri 5 orang tokoh-tokoh radikalnya (Joenes dan Saleh Oemar) akan tetap kalah suara dari tiga lainnya yang ingin kekerasan diakhiri. Dewan Pemerintah ini akhirnya dapat memilih Dr. Gindo Siregar sebagai ketuanya yang akan bertindak sebagai residen dan Mutalib Moro sebagai wakilnya.
Tetapi Joenes Nasution tidak menyerah tanpa berjuang. Sehari sesudah rapat sekelompok pemuda mengancam pejabat gubernur Dr Amir yang malang itu di rumahnya. Beliau hampir saja menyerah. Dia sempat menyampaikan pendapat kepada panglima sekutu “jika tentara sekutu dapat memberi pelajaran kepada pemuda-pemuda ekstremis, kedudukannya akan dipermudah. Kemudian dia memanggil rapat pemimpin-pemimpin politik dan menawarkan pemberhentiannya sesuai dengan keinginan rakyat. Tetapi rakyat berpegang kepada keputusan rapat 13 Maret yang lalu yakni mengesahkan keinginan rakyat Langkat dan mengangkat Adnan Nur Lubis (PNI) sebagai pemerintah wilayah itu..
Ketika Gubernur Hasan kembali di Medan pada 21 Maret sudah jelas hubungan antara satu barisan bersenjata pemuda yang lainnya sudah mencapai puncak-puncak ketegangan. “Hanya kebijaksanaan yang luar biasa dapat mencegah terjadinya pertempuran” demikian diumumkannya. Desas-desus yangs semakin santer mengenai kudeta terhadap Mr. Hasan meyakinkan gubernur ini akan lebih aman di Pematang Siantar, satu-satunya kota TRI yang kuat untuk melindunginya.
Mr. Hasan berada di medan perang sampai adanya rapat dengan pemimpin-pemimpin politik penting dimana diputuskan dia tetap menjadi gubernur, paling sedikit sampai sidang KNI seluruh Sumatera yang akan datang Di Bukit Tinggi. Rapat itu juga menerima baik tuntutan Kolonel Tahir supaya TRI mengambil alih kekuasaan pemerintahan.
Meskipun Tahir menyongkong gerakan terhadap raja-raja itu, tetapi sejak semula dia sudah dapat diduga menjadi pemimpin pemuda yang pertama secara terang-terangan keras bahwa memperingatkan bahwa “Kedaulatab rakyat itu tak dapat dan tak boleh dipergunakan untuk menurutkan hawa nafsu. Tahir mempunyai hubungan pribadi dengan istana serdang dan paman dari istrinya menjadi korban pembunuhan di Asahan. Sebagai angkatan bersenjata paling berdisiplin, TRI juga berhasil menarik kaum aristokrat dan nasionalis konserbatif berlindung di bawah payungnya. Anarki seperti yang terjadi di Langkat dan Asahan jelas dikutuk mereka. Baik di Siantar maupun di Langkat, pasukan TRI siap bertempur.
Pilihan Kolonel Tahir memimpin pemerintahan militer jatuh pada Sutan Sjahrir, Mahruzar. Dewan Pemerintah yang terdiri lima anggota ditentukan sebagai badan penasehat Mahruzar. Untungnya mahruzar sama saja dengan pendahulunya Gindo Siregar yang bisa menguasai situasi.
Timbul kecurigaan bahwa pemerintahan militer itu telah mempermudah pasukan-pasukan TRI dan sementara pemimpin untuk memperkaya dirinya. Dalam tempo seminggu pemimpin Medan yang pantas dikasihani itu mulai goyang kepercayaanya terhadap TRI disebabkan kembalinya Xarim M>S pada 26 Maret dan tibanya Mr. Hasan beserta rombongannya. Lalu Xarim segera memerintahkan gubernur itu di Medan untuk mengadakan rapat pada tanggal 30 Maret. Rapat ini antaralain memutuskan telah tiba saatnya TRI kembali kepada tugas-tugasnya, tetapi masalah pokok yang sedang dihadapi sekarang berapa kuatnya tekanan yang diberikan TRI kepada Mr. Hasan atau Dr. Amir pada saat-saat tertentu, ketimbang tekanan dari barisan radikal. Pada kunjungan berikutnya ke Medan untuk menyambut Amir Sjarifuddin pada 9April atas namaPersatuan Perjuangan Sarwono telah memerintahkan Mr. Hasan menandatangani dekrit berakhirnya pemerintahan militer dan meresmikan Mr. Luat sebagai residen.
Kembalinya Xerim yang terlambat itu membawa kesempatan baru untuk menekan arah yang lebih jelas kepada revolusi sosial. Anggota-anggota PKI memegang posisi kunci dalam pemerinthan di ERRI di pers dan Persatuan Perjuangan . PKI menjadi lebih kuat dengan pasang naiknya suasana revolusioner.
Bakat Xarim lebih menonjol sebagai pemimpin yang memiliki kharisma dari pada strategi revolusi, tetapi ada sebab lain yang membikin dia tidak mempergunakan kesempatan dalam situsasi itu yakni etelah kembalinya dari peninjauan ke seluruh Sumatera. Seperti juga tokoh-tokoh pentig marxis di Jawa dia lebih menumpahkan pikiran kepada perjuangan nasional dan perjuangan untuk memegang kepemimpinan Republik ketimbang revolusi sosial. Dia juga tidak memiliki pendidikan di Eropa dan kehalusan yang membikin Amir Sjarifuddin dll dapat diterima oleh golongan elite nasional dan sekutu. Akhirnya bagaimnapun juga revolusi di Sumatera timur itu merupakan bagian dari satu keseluruhan yang lebih besar dan campur tangannya Pemerintah Pusat dalam hal ini sudah tentu menghambat kepentingan perjuangan kaum kiri.
Tindakan kekerasan meningkat secara menyolok pada Maret dimana pasukan Inggris menghadapi perlawanan yang paling gigih sejak datangnya mereka untuk menyerang Tanjung Morawa pada 9-10 Maret. Suatu gerakan sapu bersih Inggris terhadap markas-markas TRI setempat pada 18 Maret telah dijawab dengan ultimatum yang mengan dung kemarahan dari pemimpin-pemmpin gerakan revolusioner yang mengancam akan menghancurkan semua bangunan Inggris dan semua Belanda kan mereka tawan apabila pemuda-pemuda yang mereka tangkap tidak dibebaskan. Yang lebih menggawatkan lagi berhasilnya pemboikotan ERRI dan pemuda yang mencegah penyaluran tenaga kerja dan bahan makanan ke kamp-kamp sekutu.
Seorang pengarang belanda yang menjadi serdadu , Laurens van der post memboyong 3 menteri Republik dan selusin tokoh politik serta pejaba-pejabat dengan pesawat udarainggris ke Medan pada 9 April. Bagi Sjahrir, Amir Sjariffuddin dan kawan-kawannya di Partai Sosialis “revolusi sosial” di Sumatera Timur itu ternyata telah sangat membahayakan martabat republik di dalam negeri dan luar negeri. Popularitas tan Malaka di kalangan kaum revolusioner di Sumatera Timur yang penangkapannya berulang kali telah diminta keterangannya dari Amir Sjahriffudin telah menyingkirkan sisa harapan para tamu agung itu untuk mengambil sikap positif terhadap gejolak pergolakan yang menyambut mereka di Medan. Ketiga menteri itu (Amir, Natsir dan Rasjidi) memberikan pesan yang sama kepada rapat-rapat  yang gaduh yang diperlukan sekarang yakni dukungan yang setia kepada pemerintah.
Dalam delegasi Pemerintah Pusat dari Jogya ada tokoh marxis, Mr. Amir Sjarifuddin dan Mr. Abdulmadjid Djojoadiningrat yang kemudian mewakili sayab pra Moskow dari Partai soialis dan Soebadio Sastrosatomo dan sayapnya Sjahrir. Di rapat-rapat umum maupun dalam pertemuan-pertemuan tersendiri mereka ini mencoba meyakinkan Pki dan Pesindo bahwa tahap revolusi sekarang adalah tahap revolusi nasional, bukan revolusi sosial dimana doktrin dimitrov.
.           Kremlin masih menuntut adanya penggalangan front bersama melawan fasisme dan imperialisme. Xarim dan Luat tetap tidak bisa diyakinkan malah mengancam tamu-tamu sebagai orang kiri romantis yang “kekanak-kanakan”, melibatkan diri sebebas-bebasnya dalam merayu-rayu rakyat dan lebih mementingkan kesenangan duniawi. Waktu tiga hari bagi di Medan rupanya sudah cukup bagi Amir menyimpulkan bahwa Pemerintah pusat harus menyongkong Mr. Hasan sebagai gubernur .
Rapat-rapat raksasa diadakan di Medan dan Siantar . praktis seluruh penduduk kota tumplek ke lapangan raksasa pada 11 April. Amir sendiri di ejek. Kunjungannya ke Sumatera ini merupakan titik balik dalam arah revolusi di sumatera timur. Pimpinan seluruh Sumatera dari Persatuan Perjuangan yang telah menggerakkan revolusi sosial dan sebagian mereka yang telah bernoda reputasinya. Sesudah rombongan Mr. Amir Sjarifuddin meninggalkan daerah itu mereka mengumpulkan pemimpin dari kedelapan distrik barisan pemudanya. Dalam rapat Mamicus Hoetasoit panjang lebar mengupas jalannya revolusi sosial bahwa ketidakadilan tidak bis adiberantas dengan prbuatan yang bergelimang . sesudah debat ramai akhirna pertemuan ini mengambil keputusa PP berdiri teguh di belakang pemerintah. Sekarang terdapat tiga macam kekuasaan di Sumatera Timur yakni Pemerintah , Persatuan perjuangan dan “barisan liar dan gelap”. Dua pertama telah memutuskan kerja sama yang satunya terus memperlemahpersatuan dengan perebutan-perebutan kekuasaan dan provokasi. Dr. Amir kembali ditunjuk sebagai gubernur. Joenes Nasution tifdak buang waktu kembali menterornya untuk menjalankan tindakan yang lebih radikal. Pada 20 aprilAmir merencanakan penyelamatan diri dari suana tembak dan rampok ini terjadi setiap hari di dekat Pasar Sentral Medan. Pada 25 April Dia mencari perlindungan tidak kepada publik tetapi kepada pengawalan Inggris. Dr. Amir menyebutkan bahwa Sumatera tidak ada persatuan dan mengatakan apa yang dinamakannya golongan mahaekstremis dan mahakomunis yang dipimpin Joenes nasution telah mencoba memaningnya berangkat ke Siantaruntuk melibatkannya dalam suatu kudeta terhadap Mr. Hasan. Tidaklah sulit untuk memahami ketakutan Dr. Amir. Keterangan bahwa suatu kudeta terhadap Gubernur Hasan telah direncanakan juga telah diperkuat oleh keterangan-keterangan sumber lain. Joenes dan pemimpin-pemimpin laninnya memberikan serangan-serangan pidat tajam. Di kota Siantar Joenes dan Nathan membentuk suatu dewan nasional. Untuk mengimbangi pimpinan Persatuan Perjuangan. Kemudian tersiar kabar golongan ini menculik Mr. Hasan
Hasan sampai di Siantar 27 april disertai seketaris Kementrian Dalam Negeri Republik, mr. Hermani rombongan menteri-menteri jawa berangkat pulang untuk pengorganisasian kembali pemerintahan Sumatera.mereka hanya disuguhkan kue dari tepung beras agar mengetahui seberapa besar penderitaan rakyat.
Rupanya rencana kudeta itu telah buyar.Joenes Nasution ditangkap dan pendukungnya juga pada 25 april malam. TRI dll pasukan panya sudah diberitahu rencana itu dan tepat pada waktunya telah membendung cap Rante. Sebelumnya Tri dengan Cap Rante tembak menembak akhirnya Kolonel Tahrir berhasil menangkap Urbanus Pardede karena peranannya dalam peristiwa ini.
Beberapa laporan bahwa Xarim menjadi calon pengganti Gubernur hassan dan bahwa dia Luat Siregar telah dikonsultasikan sebelum gerakan itu tetapi sumber lain mengatakan bahwa kedua tokoh moderat PKI ini juga akan ditangkap bersama Mr. Hassan. Yang benar adalah bahwa terjadi perpecahanparah dalam barisan PKI. Kegagalan kepemimpinan partai ini mengakibatkan semkain hilang tempat terpijaknya. Pukulan revolusi itu akhirnya tuntas.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ideologi komunis bergerak dan disebarkan secara massif, utamanya terhadap rakyat-rakyat kecil. Tak hanya itu,  Kelompok komunis bahkan mampu menginfiltrasi hingga ke elit-elit kaum pergerakan. Kaum komunis ini mengelompok kedalam berbagai organisasi seperti Pesindo, Barisan Harimau Liar, Gerindo, PKI dan kelompok bersenjata lainnya. Mereka semua tergabung kedalam folksfront, yang menjadi motor dalam aksi pembantaian. Kondisi itu ditambah lagi dengan keinginan Jepang untuk menghapuskan kesultanan Melayu yang dianggap lebih mendukung Belanda. Jepang tidak ingin kekayaan alam di Sumatera Timur dikuasai bangsa Eropa. Karena itu pula, Jepang memanfaatkan para pemuda yang memiliki semangat revolusi untuk melenyapkan kesultanan. 

Namun, Revolusi yang mengorbankan ratusan dan bahkan ribuan nyawa tersebut tidak memberikan banyak hasil bagi kehidupan rakyat. Memang ada kerja-kerja positif yang terjadi, yakni persamaan dan persaudaraan, jauh lebih sulit. Namun dua ciri dari periode ini tampak mencuat. Pertama, sistem “demokrasi langsung” dalam arti rapat umum raksasa berhasil menuntut bahwa kerajaan segera dinyatakan dihapus dan dalam beberapa hal berhasil memilih atau mencapai kata sepakat mengenai pejabat-pejabat baru pada saat itu juga. Dalam bidang ekonomi, Ekonomi Rakyat republik Indonesia (ERRI) mengambil alih perkebunan karet dan tembakau, fasilitas pengangkutan, pemasukan dari perdagangan luar negeri dan dari bea cukai dan hampir segalanya yang dapat direbut dari pihak yang bertanggung jawab sebelumnya. 
Sebagaimana dikutip dari Reid (2011), dari kerusuhan revolusi di Sumatera Timur ini, tidak ada pemenang yang muncul (di Aceh ada, yakni elit Islam). Reputasi semua pemimpin penting dirusak oleh kekacauan yang ditimbulkan “revolusi sosial”, sehingga kekuasaan nyata semakin banyak yang jatuh ketangan kelompok-kelompok  pemuda bersenjata dan terpisah-pisah satu sama lain dan dipimpin oleh pemuda-pemuda berusia tidak lebih dari 20 keatas. Sepanjang 1946-1947 mereka seringkali bertempur satu sama lain memperebutkan wilayah, kendali atas perkebunan karet dan harta yang telah disita dari istana-istana kesultanan.

Daftar Pustaka
http://ikhti.blogspot.com/2013/06/revolusi-sosial-di-sumatera-timur_25.html
google.com
Anthony Reid. 1987 .Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra. Jakarta : Muliasari

1 komentar:

  1. Kesimpulan akhir menunjukkan bahwa pemuda itu tidak lebih dari para preman yang menganggap diri mereka adalah pahlawan. Efeknya masih kita rasakan sampai sekarang dimana preman-preman masih merajalela di sumatra timur.

    BalasHapus